Syarat Diterimanya Ibadah

17/07/2010 13:11

Sesungguhnya kemuliaan manusia dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan karena ibadahnya kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrikin (lainnya) (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)

Juga firman Allah Ta’ala:

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqon: 44)

Sebaliknya, orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka adalah makhluk terbaik dalam pandangan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh mereka itulah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)

Maka memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik adalah perkara yang paling penting dalam kehidupan seorang hamba.

Namun yang juga tak kalah penting untuk dipahami adalah makna ibadah itu sendiri serta syarat diterimanya ibadah, karena tidaklah sembarang ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan makna ibadah adalah,

اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة

“Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).” (Al-‘Ubudiyyyah, hal. 44)

Kemudian beliau mencontohkan amalan-amalan lahir seperti, “Sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak, baik manusia maupun hewan, berdo’a, dzikir, membaca al-Qur’an dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah”.

Dan amalan-amalan batin seperti, “Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, senantiasa kembali (taubat) kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan nikmat-nikmat-Nya, ridho dengan ketetapan-Nya, bertawakkal kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut dari adzab-Nya dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala”.

Jadi, makna ibadah dalam Islam mencakup seluruh bentuk kebaikan yang harus diamalkan oleh manusia pada semua sisi kehidupannya.
Syarat Diterimanya Ibadah

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya.” (Al-Mulk: 2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/176)

Al-Imam Abu ‘Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar”. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).” (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.” (Al-Kahfi: 110)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Keduanya merupakan dua pokok terkumpulnya agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Ta’ala dan kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak dengan bid’ah-bid’ah.” (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, hal. 451)

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah:

Pertama: Ikhlas, yaitu beribadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Mutaba’ah, yaitu mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Kedua syarat ini sesungguhnya merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat; Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita untuk meneladani beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi dijadikan dalam satu rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah satu dengan yang lainnya (lihat Syarhu Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah).

Maka wajib bagi kita untuk beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah, serta menjauhi perkara-perkara yang dapat merusak kedua syarat tersebut.

Perusak Ikhlas

Perusak ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal karena dunia dapat merusak keikhlasan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Amirul Mu’minin Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Riya’ dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, kita lebih lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ ini. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.” (HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)

Betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa menjaga niat kita. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengajarkan sebuah doa:

اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266)
Perusak Mutaba’ah adalah Bid’ah

Adapun perusak mutaba’ah adalah perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Amalan bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah sejelek-jelek perkara dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia shallallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Aisyah radhyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)

3. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” (HR. Muslim, no. 2042)

4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara baru dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syar’i adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti seorang tokoh atau mengikuti kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita berpendapat ada bid’ah yang baik (hasanah)!?

Maka di sinilah pentingnya ilmu sebelum beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahwa ibadah tidak boleh sekedar semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
Posted on 3 Juli 2010 by nasihatonline

Search site